So far, 2016 has been so good to me. Especially around these times I’ve been spending in Jakarta, where it’s been three months since I “moved” here to find a better life.
Mungkin kalo ada yg liat postingan saya belakangan, saya jarang update, tapi sekali posting soal konser, temen-temen saya sampe bilang saya anaknya “hura-hura” banget akhir-akhir ini. Hahah! Demi apapun enggak. I am that kind of person that goes to concert only on really special event. It means, the musician/event has to be on my planned-list. And with His mercy, I got the chances to watch THREE of them in these three months! Two months ago I (finally) watched Java Jazz Festival. Bayangin aja Java Jazz sudah belasan tahun ada di Indonesia dan baru bisa nonton tahun ini. Trus kemaren, hari Minggu, bisa nonton Joey Alexander yang KEBETULAN main ke Jakarta pas saya lagi ada disini. Dan tadi malam, akhirnya bisa nonton Monita Tahalea, the singer I’ve been loving since 2011.
warning: most of the photos belongs to Instagram-ers. sorry that I have to borrow it, my phone camera sucks at night |
It seems like everything has written in my hand by God. Call me lebay, but the thing is, I ran out of ticket from such a time already. Pengumuman konser Dandelion by Monita Tahalea udah ada sejak beberapa waktu lalu, dan saya memang lengah ga langsung pesan tiketnya. Mungkin kemarin saya bener-bener sibuk jadi ga sempat beli tiketnya. Atau lupa karena udah beli tiket Joey Alexander yang cuma beda seminggu. Akhirnya dua minggu sebelum hari H, liat komen-komenan di IG yang mengeluhkan tiket habis, akhirnya saya pun mengecek semua tempat/web penjualan, dan ternyata beneran abis. Akhirnya sampe mention-mention Monita dan hubungin cp yang dikasih, udah keabisan juga katanya sampe spot lesehan. Sedih banget sih, soalnya saya emang beneran ngefans sama dia dan musiknya dari dulu. Kebeneran, pas saya lagi di Jakarta, eh Monita menggelar konser tunggal perdananya. We’re meant to be! Halah. Singkat cerita, saya tetap ngotot mau nyari tiket, kalo perlu datang on the spot dan membujuk abang-abangnya biar boleh masuk. Selain itu saya juga nyuruh temen saya si Brian si anak gaul Jakarta buat cariin, kali-kali aja ya kan, walau katanya udah habis dimana-mana. Dan, ini kenapa saya bilang Tuhan (selalu) baik, jangan tanya dapat darimana, si Brian berhasil dapat tiketnya. Saya malas nanya dia how? and where?, yang jelas dapat, mari kita pergi menengok Dandelion. Yey.
Teater Salihara berada di Komunitas Salihara, di Kebayoran Baru, ga jauh dari rumah tante. Pas saya masuk ke dalem, saya baru tau tempatnya itu seat-nya tribun dan cukup nyaman. Kami pun duduk dan disambut dengan suara-suara sayup jangkrik yang memenuhi teater dari layar yang menampilkan gambar dan audio suasana hutan kelabu dalam hujan (seperti judul puisi Sapardi Djoko Damono). Belum apa-apa saya sudah senang. This gotta be good, I thought.
The concert was.....magical. I only need first three seconds to claim I am gonna love this concert, first 10 minutes to say I really love this concert, and last 5 minutes to conclude that this concert is my favorite concert ever, selain konser Michael Buble yang saya nonton di Kuala Lumpur. Tapi ini adalah konser paling berkesan yang pernah saya hadiri. It was so...intimate. Monita brought us to her personal states of life- state of happiness, state of praise and worship, state of loving and story-telling. Saya seperti sangat bisa mengenal Monita secara personal, serta pandangannya terhadap kehidupan, yang dirangkumkan hanya dalam konser berdurasi 90 menit. Saya dari dulu merasa nyambung dengan Monita-maybe it sounds weird-but that’s it, I feel lagu-lagu dia itu “gue banget”.
Jujur nih, awalnya saya sebenarnya lebih suka album pertamanya yang bertajuk Dream, Hope and Faith yang dirilis tahun 2010, menurut saya lagu-lagunya oke banget, thank Indra Lesmana; dan nuansa jazz nya masih kental. Saya dulu mengikuti by video gig-gig Monita di Red-White Jazz Lounge punya Indra Lesmana (yang sekarang udah tutup), dan menurut saya dia cocok banget bawain lagu-lagu jazz classics, yang semuanya itu entah mengapa jadi a whole new song kalo dia yang nyanyikan, menurut saya itu dia banget. Makanya, walau itu tentunya sama sekali gak mengurangi kecintaan saya terhadap dia dan musiknya, saya agak kecewa pas tau di album barunya, Dandelion, Monita gak menyanyikan satu jazz classic apapun, dan bener-bener “melepaskan diri” dari his teacher, Indra Lesmana. Tapi semuanya berubah pas nonton konser semalam. Monita membawakan album barunya yang berisi nyaris seluruh karyanya sendiri dengan sangat baik, dan akhirnya saya bisa menyukai album ini sama besarnya dengan 2 album sebelumnya(satunya lagi mini album gospel produksi terbatas, Songs of Praise).
I love how she describes love and life, dan kemampuannya bernarasi dalam lagu-lagu seperti 168, yang mengisahkan cerita gadis bingung dan pengembara yang mencari makna kehidupan, ditutup manis dengan lafalan lirik bahasa Prancis yang cakep, atau lagu-lagu seperti Memulai Kembali yang ceria tentang indahnya memulai kembali kehidupan baru. Saya mengagumi Monita karena selain suara dan musiknya yang oke, selalu ada makna alkitabiah yang tersamar di dalamnya. Selain membawakan lagu gospel klasik How Great Thou Art, dan Saat Teduh yang terang bercerita tentang Pencipta, saya juga bisa menangkap penggalan lagu Ya Khalik Alam Semesta dan Tuhan Betapa Banyaknya dari Kidung Jemaat yang dibawakan secara instrumental dengan trumpet di intro lagu Breathe, sebelum menyorot aksi pantomisasi dengan mime yang dibawakan oleh Bayu Risa (a singer and also Monita's boyfriend) muncul mengiringi lagu tersebut (that part was pure epic). Lagu Breathe sendiri salah satu liriknya mengutip satu kutipan terkenal di Bible “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman..”. Menurut saya yah. Begitu banyak penyanyi dan musisi yang bermusik dengan bagus, indah, tapi jarang yang kerap menampilkan esensi “iman” mereka dalam karya-karyanya tanpa kesan menggurui dan “kentara”. Konser Monita seperti satu satu buku cerita yang memiliki elemen berkesinambungan, yang membuat siapapun larut membacanya, tanpa menjadikan kita outsider, apabila kita tak mengerti.
Dari segi
musikal menurut saya juara, kudos to Gerald Situmorang sebagai music director,
gitaris sekaligus produser dari Monita, yang menampilkan suguhan musik dari
awal hingga akhir yang sangat membangkitkan mood. Alunan gitar + guitalele yang ciamik,
kadang ceria, kadang sendu melagu, dengan dinamika yang pas, ditambah dengan
band pendukung Monita lainnya yang kelas banget menurut saya. The whole band,
juga special performances lain dari musisi-musisi lain yang mengirinya dengan
trumpet dan guitar, juga piano oleh pianis jazz muda Indonesia, Sri Hanuraga, menyempurnakan keseluruhan konser ini. Semuanya matching banget
dengan video yang diputar di layar sebagai background, yang menampilkan
berbagai pemandangan alam yang berbeda-beda yang sesuai dengan mood
tiap lagu, gambar langit senja di lagu Senja, gambar perahu dan bulan
di lagu Perahu didukung dengan musikalisasi suara angin, lagu Hope dengan
background hutan suara hujan.. dan seterusnya. I think that's brilliant. Keliatan sih kalo Monita orangnya puitis dan
melankolik. Tampak sedikit gugup di awal konser, tapi sama sekali ga mengganggu
kualitas suaranya yang soothing dan angelic. Suara Monita itu memang sangat halus, tipis, but it's definitely that one voice you won't miss. It's right to the soul.
Kekurangan mungkin hanya ada pada segi teknis sound systemnya yang sesekali berbunyi “ngik-ngik” menggangu, tapi belakangan ketutup kok.
Intinya kesan keseluruhan yang diperoleh dari ruangan Teater Salihara yang kecil, tata panggung dan mood yang bernuansa “rustic” dan “folkish”, serta suasana sederhana yang ditampilkan, tidak wah seperti konser-konser besar lainnya, namun itulah yang membuatnya sangat indah dan menurut saya, eksklusif. Kita seperti diajak Monita masuk ke rumahnya dan menonton dia bercerita dan bermain musik bersama teman-teman terdekatnya. Selesai konser, saya cuma bisa tersenyum-senyum mengingatnya dan serasa terbangun dari mimpi yang indah setelah habis mendengar dongeng, dan memutar ulang videonya. It was one magical evening.
Intinya kesan keseluruhan yang diperoleh dari ruangan Teater Salihara yang kecil, tata panggung dan mood yang bernuansa “rustic” dan “folkish”, serta suasana sederhana yang ditampilkan, tidak wah seperti konser-konser besar lainnya, namun itulah yang membuatnya sangat indah dan menurut saya, eksklusif. Kita seperti diajak Monita masuk ke rumahnya dan menonton dia bercerita dan bermain musik bersama teman-teman terdekatnya. Selesai konser, saya cuma bisa tersenyum-senyum mengingatnya dan serasa terbangun dari mimpi yang indah setelah habis mendengar dongeng, dan memutar ulang videonya. It was one magical evening.
Well, in the end of my review, I have to say I am definitely ready for Monita’s next concert. Mudah-mudahan lagunya lebih banyaakk lagi, tetap menyajikan musik Indonesia yang berkualitas, supaya saya gak melulu denger lagu luar. I hope she stays true to herself. Seperti dandelion liar di padang rumput. As simple as she is, as what God has given to her. I feel blessed by her and her music. Mudah-mudahan saya juga bisa kayak Monita, yang bisa kasih karya-karya yang gak sekedar bagus tapi jadi berkat juga buat orang. Ada ameen? Ameeennn.
Finally strike a pose with the lady, setelah bersabar 30 menit menunggu yang lain berebutan... I was really shy and not aggressive that night. Anyway. Brian was right, I should have wear heels :)) |
2 comments
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
ReplyDeleteSebuah konser yang indah ya. :)
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
iya, indah banget!
Delete