The Art of Waiting

By Liku Layuk Allo - April 02, 2011

mom : lagi nunggu siapa? dari tadi depan rumah terus
10 years old lee : nunggu surat, mi.
mom : ceilaa, surat dari siapa?
10 years old lee : dari temanku di surabaya.
mom : sejak kapan kamu punya teman di surabaya?
10 years old lee : kenalan di Bobo dong.

--

Masih teringat di jelas di benak saya, saat saya masih kecil, ada seseorang yang amat saya nanti-nantikan keberadaannya untuk mampir di rumah saya.



Bapak ini akan datang ke rumah membawakan hal yang sangat saya tunggu-tunggu. Entah itu surat, kartu Natal, ataupun katalog buku terbaru dari Gramedia. Rasanya senang aja membuka pagar dan melihat kalau kiriman yang datang itu untuk saya.
Jujur, saya paling senang saat menerima surat. Surat dari siapa saja, bisa dari oma-opa saya yang ada di Jakarta, atau dari sepupu saya yang suka ngasih plus-plusan dalam kiriman suratnya (baca: coklat), and the most exciting one : a letter from a friend that I never met. Atau kerennya jaman dulu itu kita bilang sahabat pena. Cailahh.

Saya versi anak kecil itu adalah anak yang suka skali nulis surat. Kadang saya menulis surat untuk berbagai macam orang, tapi tidak mengirim semuanya. Papi saya pernah bertanya, "buat apa kamu ngirim surat buat artis?". Dan saya langsung menangis meraung-raung karena ternyata papi saya mengintip surat yang akan saya kirim buat personil Westlife (yang akhirnya tidak jadi dikirim).

Ada yang spesial dengan kegiatan menunggu surat. I love reading letters much more than reading romantic sms. Or romantic bbm. Or scrapbook. I love plain letter the most. A paper, with words. Only words.

Letters contains everything the writer wanna say. Instead of saying, sometimes, people do prefer writing. There will be no awkward things as we will face if we talk into each other's eyes. Dan saat ungkapan hati kita dikirim, kita akan terus membayangkan apa reaksi yang akan dikeluarkan saat surat itu sampai di tangan yang dituju. Dan kita ngga bisa menelpon untuk nanya, "udah terima suratku, belum? gimana?"
Kita hanya bisa menunggu. Menunggu surat itu dibalas, dan melihat reaksinya. Dan itulah sebabnya, saya selalu merasa kalau menunggu surat adalah kegiatan menyenangkan. It's an art of waiting. And I am missing it. Hati saya sedih saat mengingat saat ini si Bapak dan motor orange-nya sudah terlupakan. Jujur, saya rindu padanya.

Aku tukang pos rajin sekali. Surat kubawa naik sepeda siapa saja aku layani. Tidak kupilih miskin dan kaya. Kring … kring … pos!”

  • Share:

You Might Also Like

1 comments

  1. Sudah lama tidak memposting blog lg liku :)
    Ayo mulai berkirim surat lg, setidaknya kartu pos :) Saya mulai melakukannya lagi :)

    ReplyDelete